Pengertian dan Syarat Akad


Pengertian Akad 

Secara etimologis akad mempunyai arti; menyimpulkan, mengikat (tali).[1] Sedangkan secara terminologis, menurut Kompilasi Hukum Eknomi Syariah, akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.[2]

Menurut Ahmad Azhar Basyir, akad adalah suatu perikatan antara ijab dan Kabul dengan cara yang dibenarkan syara` dan menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isis perikatan yang diinginkan, sedangkan Kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.[3]

Lalu menurut Prof. Dr. Abdul Ghafur Anshari, akad adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban berpretasi pada salah satu pihak, dan pihak lain atas prestasi tersebut, dengan atau tanpa melakukan kewajiban kontraprestasi.[4]


Syarat Akad

Ada beberapa syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad (syuruth al-in`iqad), syarat sah akad (syuruth al-shihhah), syarat pelaksanaan akad (syuruth an-nafidz), dan syarak kepastian hukum (syuruth al-iltizam).[5]

1. Syarat Terjadinya Akad

Syarat terjadinya akad (kontrak), yaitu terbagi kepada syarat umum dan syarat khusus. Yang termasuk syarat umum yaitu rukun-rukun yang harus ada pada setiap akad, seperti orang yang berakad, objek akad, objek tersebut bermanfaat, dan tidak dilarang oleh syara`. Yang dimaksud syarat khusus ialah syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya, seperti syarat harus adanaya saksi pada akad nikah (`aqd al-jawaz) dan keharusan penyerahan barang/objek akad pada al-`uqud al-`ainiyyah.[6]

2. Syarat Sahnya Akad

Menurut Ulama Hanafiah, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, syarat sahnya akad, apabila terhindar dari 6 (enam) hal, yaitu:

Al-Jahalah (Ketidakjelasan tentang harga, jenis dan spesifikasinya, waktu pembayaran, atau lamanya opsi, dan penanggung atau penanggung jawab); Al-Ikrah (Keterpaksaan); Attauqit (Pembatasan Waktu); Al-Gharar (Ada unsur kemudharatan); dan Al-Syartu al-fasid (Syarat-syaratnya rusak, seperti pemberian syarat terhadap pembeli untuk menjual kembali barang yang dibelinya tersebut kepada penjual dengan harga yang lebih murah).[7]

3. Syarat Pelaksanaan Akad

Syarat ini bermaksud berlangsungnya akad tidak tergantung pada izin orang lain. Syarat berlakunya sebuah akad yaitu (1) adanya kepemilikan terhadap barang atau adanya otoritas (al-wilayah) untuk mengadakan akad, baik secara langsung ataupun perwakilan. (2) Pada barang atau jasa tersebut tidak terdapat hak orang lain.[8]

4. Syarat Kepastian Hukum atau Kekuatan Hukum

Suatu akad baru mempunyai kekuatan mengikat apabila ia terbebas dari segala macam hak khiyar.[9] Khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membetalkan akad jual beli yang dilakukan.[10]

Terkutip dari buku “Hukum Perikatan Syariah di Indonesia” karya karya Dr. Mardani, Sinar Grafika, 2013. Jakarta.
_____________
[1] Ahmad Warson Al-Manawir, Kamus Al-Manawir (Yogyakarta: Pesantren Karafyak, Tth), hal. 1023.
[2] Lihat Pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
[3] Ahmad Azhar Basyir, Asas asas Perikatan Islam di Indonesia, loc. cit, hal. 65.
[4] Abdul Ghafur Anshari, Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), loc. cit, hal. 24.
[5] Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian…., loc. Cit, hal 40.
[6] Ibid, hal. 41.
[7] Ibid, hal. 41.
[8] Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), hal. 9.
[9] Ibid.
[10] Pasal 20 ayat (9) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment